Wallpapers

Berbicara Terus-terang dan tidak Bertele-tele (go back »)

August 26 2007, 1:40 AM

BERBICARA secara langsung dan tidak berputar-putar atau bertele-tele dalam memahamkan anak tentang kebenaran, akan menjadikan anak lebih siap dan lebih kuat untuk menerimanya. Sedangkan cara yang bertele-tele dan berbelit-belit tidaklah memperoleh tempat dalam berinteraksi dengan anak. Demikianlah Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk berbicara kepada anak secara to the point, terus terang, dan jelas. Hadits berikut ini tidak lain merupakan dalil untuk hal itu. Dalam hadits riwayat At-Tirmidzi, Ibnu 'Abbas mengatakan, "Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah saw. lalu beliau mengatakan kepadaku, 'Nak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa kata ." Jadi Rasulullah saw. berbicara langsung pada topik yang ingin disampaikan. Beliau mengatakan, "Aku ingn ajarkan kepadamu." Lalu beliau mengajarkan kepadanya "beberapa kata" yang singkat, bermanfaat, padat dan tidak membosankan Itu sesuai dengan watak pemikiran anak yang menginginkan kalimat-kalimat pendek, ringkas, menyeluruh, dan sarat makna. Jika kita perhatikan, kalimat-kalimat yang disampaikan Rasulullah saw. Itu merupakan landasan pemikiran dan landasan aqidah yang prinsipil pada anak dalam kehidupan masa kanak-kanak dan juga untuk masa muda yang tidak lama lagi akan dijalaninya. Mari kita baca kalimat-kalimat itu: "Jagalah (agama) Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (agama) Allah niscaya kamu akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah; jika kamu mohon pertolongan mohonlah kepada Allah; ketahuilah bahwa jika seluruh umat berhimpun untuk menyelamatkanmu dengan sesuatu maka niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan apa yang sudah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berhimpun untuk mencelakakanmu maka niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali jika Allah telah menetapkannya. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (ketentuan Allah)." Anda lihat kalimat-kalimat yang disampaikan Rasulullah saw. itu langsung pada sasaran dan diawali dengan menarik perhatian si anak melalui panggilan, "Nak." Ini membuat si anak merasa mendapat perhatian. Sama halnya ketika pemuda dipanggil "Hai pemuda." Adakah Anda menemukan penjelasan yang padat dan menyeluruh yang menyentuh akal anak seperti yang disampaikan Rasulullah saw. itu? Pernahkah Anda membaca atau mendengar kaidah-kaidah yang membangun pemikiran dan akal anak agar menjadi landasan dalam menghadapi kehidupan, sebaik yang dilontarkan Rasulullah saw. itu? Demikian pula Rasulullah saw. membimbing anak secara langsung tentang langkah praktis untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati seperti dengki, kebencian, dan licik. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- bahwa ia berkata, "Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Wahai anakku, jika kamu bisa, saat datang pagi dan petang, dalam keadaan hatimu tidak menyimpan kedengkian kepada seseorang maka lakukanlah, wahai anakku. Dan itu termasuk sunnahku. Barangsiapa menghidupkan sunnahku maka dia telah menghidupkanku. Dan barang siapa menghidupkanku maka dia bersamaku di sorga'." Di sini Rasulullah saw. menggunakan kata 'anakku'. Hal itu dalam rangka menyentuh perasaan si anak, menarik perhatiannya, dan merangsangnya untuk mendengarkannya secara jelas. Pemaparan itu menegaskan bahwa Rasulullah saw. memilih cara yang memuaskan dalam menjelaskan sesuatu kepada anak. Kita juga melihat bagaimana Rasulullah saw. menyusun informasi agar si anak menghafalnya. Beliau juga berbicara secara runut agar si anak dapat memahaminya, dalam suasana yang tenang dan menyenangkan, dengan sentuhan yang mengagumkan, menggunakan sapaan 'wahai anakku'. Kiat 15. Berbicara sesuai dengan Tingkat Intelektualitasnya JIKA kita mengetahui tingkat pertumbuhan yang dicapai akal anak, akan mudah bagi kita untuk memecahkan banyak persoalannya. Dengannya kita akan tahu kapan kita harus bicara padanya, kalimat macam apa yang dipilih, dan gagasan apa yang kita ajukan kepadanya. Sebab anak, seperti manusia lainnya, memiliki keterbatasan yang tidak dapat diterobosnya. Akal dan pemikirannya masih dalam proses pertumbuhan dan perluasan. Ini dibuktikan dengan kasus yang terjadi menjelang Perang Badar. Para sahabat menangkap seorang gembala dari orang Quraisy. Mereka menanyainya tentang jumlah pasukan Quraisy. Ternyata anak itu tidak menjawab dengan baik lalu para sahabat memukulnya. Hingga datanglah Rasululiah saw. -seorang ahli kejiwaan yang tidak diragukan lagi. Ternyata Rasulullah saw. bertanya kepadanya, "Berapa ekor unta yang mereka sembelih?" Si anak itu menjawab, "Sekitar sembilan atau sepuluh ekor." Maka Rasululiah saw. bersabda, "Berarti jumlah mereka sekitar sembilan ratus sampai seribu orang." Rasulullah saw. memahami bahwa si gembala itu tidak mengetahui hitungan ribuan. Tingkat kemampuan akalnya hanya mencapai angka puluhan. Lalu puluhan apa? Puluhan untalah yang mudah dihitung oleh anak itu karena ukurannya besar. Rasulullah saw. mampu membuat anak itu berkomunikasi dengan baik. Itu terjadi karena beliau berbicara dengannya sesuai dengan tingkat intelektualitasnya. Contoh lain adalah ketika Anas Bin Malik -semoga Allah meridhainya- melakukan kelalaian atau lupa sesuatu saat melayani Rasulullah saw. Maka keluarga beliau menghukumnya. Namun ternyata Rasululiah saw. yang mengetahui batas-batas kemampuan anak mengatakan, "Biarkanlah. Sebab kalau memang dia mampu pasti dia lakukan." Ini menunjukkan bahwa anak mempunyai kemampuan berfikir dan kemampuan fisik yang terbatas. Menuntutnya untuk melakukan apa yang berada di luar kemampuannya sama saja dengan si cebol merindukan bulan. Bahkan dalam bercanda pun Rasulullah saw. melakukannya sesuai dengan kadar nalar anak-anak yang diajaknya bercanda. Rasululiah saw. bercanda dengan hal-hal yang mereka rasakan, pahami dan ketahui. Rasulullah saw. bertanya kepada seorang anak: "Hai Aba 'Umair, sedang apa burung kecil itu? " Itu tidak lain merupakan dalil bagi hal itu. Nughair adalah burung kecil yang menjadi mainan anak itu. Kalau kita perhatikan kalimat yang digunakan Rasululiah saw. itu kita akan mendapatkannya telah memenuhi sifat-sifat kalimat edukatif yang baik, yakni: a. Kalimatnya pendek, dengan enam kata dan dua belas suku kata. Dan ini kalimat yang cocok untuk anak kecil. b. Kalimatnya mudah diucapkan dan tidak ada kata yang sulit diucapkan. c. Kalimatnya mudah dipahami dan jelas. d. Kalimatnya mudah dihafalkan karena mempunyai unsur sajak yakni adanya kesamaan bunyi pada kedua ujung penggalan kalimat. e. Penggalan-penggalan kalimatnya sesuai dengan jiwa anak dimulai dengan sapaan, ada jeda, dan ada pertanyaan. Karenanya, hendaknya pendidik memilih kata yang mudah dan kalimat yang pendek dalam berbicara dengan anaknya. Juga hendaknya, ia berbicara sesuai dengan tingkat intelektualitasnya, agar anak tidak punya alasan untuk menjadi pembangkang. Saudaraku pendidik, bayangkan jika Anda mempunyai atasan yang memberi Anda tugas di luar kemampuan. Adakah Anda akan melaksanakan tugas itu? Maka terlebih lagi anak Anda, jika Anda berbicara kepadanya di luar kemampuan jangkauan akalnya. Kiat 16. Gunakanlah Metoda : "Apakah Kendalamu, Nak?" DIALOG yang tenang akan menumbuhkan kemampuan akal, memperluas wawasan, dan merangsang aktifitas akal anak untuk memahami realitas kehidupan. Melatih anak untuk berdiskusi dan berdialog akan membawa orangtua pada hasil yang mencengangkan. Sebab dengan cara itu si anak akan mampu mengutarakan pendapat-pendapat dan gagasannya serta berani menuntut hak-haknya di hadapan orang dewasa. Karena orang tuanya di rumah telah melatihnya adab, dan tata cara berdialog. Rasulullah saw. berdialog secara tenang dengan anak muda yang datang kepadanya untuk meminta agar dizinkan berzina. Dan pada akhirnya si anak muda itu bangkit dari duduknya dalam keadaan telah sangat membenci perbuatan zina. Beliau juga berdialog dengan anak kecil yang ingin ikut menjadi prajurit perang dengan tenang, penuh perhatian, dan objektif. Samurah Bin Jundub mengatakan, "Rasulullah saw. menerima seorang anak kecil menjadi prajurit perang dan menolak saya. Maka saya katakan kepadanya, "Ya Rasulullah, engkau menerimanya dan menolak saya. Padahal kalau saya bergulat dengannya pasti saya bisa mengalahkannya." Maka saya bergulat dengannya dan mengalahkannya. (HR. Al-Hakim) Rasulullah saw. juga berdialog dengan Ibnu 'Abbas. Dari Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhainya, ia mengatakan, "Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah, untuk melihat shalat Rasulullah saw. Maka beliau bangun dari tidur seraya mengucapkan, 'Mata telah tertidur, bintang-bintang pun telah tenggelam, dan (Allah) Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri tetap ada.' Kemudian beliau membaca akhir surah Ali 'Imran 'Inna fii khlaqissamawali wal-ardhi...' Kemudian beliau bangun menuju tempat air yang bergantung lalu berwudhu dan memulai shalat. Maka aku pun berwudhu kemudian berdiri di sebelah kirinya. Beliau menarik kupingku dan memindahkanku ke sebelah kanannya. Aku kembali ke tempatku semula dan Rasulullah saw. kembali memindahkan aku dua dan tiga kali. Ketika selesai shalat, beliau mengatakan, 'Nak, apa yang menghalangimu untuk tetap di tempat berdiri yang aku tunjukkan?' Aku mengatakan, 'Engkau adalah Rasulullah. Tidak layak seorang pun menyamaimu.' Maka Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah jadikanlah dia orang yang memahami agama dan ajarkanlah padanya takwil'." Karenanya, saudaraku pendidik, mari kita gunakan cara "apa kendalamu, nak" yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita. Yakni berdialog dengan anak dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan gagasan, pendapat dan segala perasaannya. Para sahabat pun telah mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah saw Amirul-Mu'minin 'Umar Bin Khaththab mendapat pengaduan dari seorang bapak tentang anaknya. Maka 'Umar Bin Khaththab memanggil anak itu untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. "Apa yang menyebabkan kamu durhaka kepada bapakmu?" tanya 'Umar kepada anak itu. "Wahai Amirul-Mu'minin, apa hak anak pada bapaknya?" si anak balik bertanya. "Dia harus memberinya nama yang bagus, memilihkan untuknya calon ibu yang baik, dan mengajarinya Al-Qur'an ," . jawab 'Umar. "Wahai Amirul Mu'minin, ayahku tidak melakukan satu pun dari semua itu," ungkap si anak. 'Umar lalu menoleh kepada si ayah seraya mengatakan, "Engkau telah durhaka kepada anakmu sebelum anakmu durhaka kepadamu." Begitulah 'Umar berdialog dengan anak kecil untuk konfirmasi dalam hal-hal penting. Anda lihat, saudaraku, Khalifatul-Muslimin dan pemimpin negara terbesar di dunia. Dan Anda tahu sikap tegas 'Umar dalam kebenaran. Dia mengkonfirmasi hal-hal penting kepada kalangan yang sering kali tidak menarik perhatian dan tidak dipandang sebelah mata anak-anak. Saudaraku, mari kita lakukan dialog yang tenang bersama anak. Berdiskusilah denganya dalam suasana penuh kasih. Dengarkanlah pendapatnya dengan seksama dan bijak, sebagaimana dilakukan oleh khalifah kelima, 'Umar Bin 'Abdil 'Aziz. Ketika beliau baru saja menjabat sebagai khalifah, para tamu berdatangan untuk mengucapkan selamat dan menyampaikan berbagai keperluan. Lalu datanglah rombongan dari Hijaz. Seorang anak kecil mewakili mereka maju untuk berbicara. Maka Umar berkata, "Biarkan orang yang lebih tua darimu maju." Anak itu menjawab, "Semoga Allah meluruskan Amirul Mu'minin. Kami datang kepadamu untuk mengucapkan selamat bukan untuk menghinakan. Kami datang kepadamu karena perkenan Allah yang telah mengaruniakan engkau kepada kami..." 'Umar menyahut, "Nasihatilah aku, anakku." Si anak melanjutkan, "Semoga Allah meluruskan engkau wahai Amirul Mu'minin, Ada orang-orang yang dibanjiri karunia Allah, panjang cita-citanya, dan banyak sanjungan orang kepadanya. Lalu orang itu tergelincir kemudian meluncur ke dalam neraka. Maka janganlah engkau tertipu dengan banyaknya karunia Allah dan banyaknya sanjungan kepadamu, nanti kakimu akan tergelincir dan engkau akan menyusul mereka ke neraka. Semoga Allah tidak menjadikan engkau seperti mereka dan semoga Dia mempertemukan engkau dengan orang-orang saleh dari umat ini." Kemudian ia diam. 'Umar bertanya, "Berapa umur anak itu?" Beliau mendapat jawaban bahwa umurnya sebelas tahun. Beliau bertanya-tanya tentang anak itu, ternyata ia keturunan Husen Bin 'Ali -semoga Allah meridhai mereka. Akhirnya, kami ingin angkat contoh lain tentang dialog yang tenang yang mampu meluruskan langkah seorang Imam besar, Abu Hanifah. Ia melihat seorang anak kecil sedang bermain tanah. Ia mengatakan kepada anak itu, "Hati-hati kamu jangan sampai jatuh ke tanah." Si anak itu menjawab, "Engkau yang harus hati-hati agar tidak terjatuh. Karena jatuhnya seorang alim berarti jatuhnya alam semesta." Setelah mendengar nasihat itu Abu Hanifah tidak berani mengeluarkan fatwa kecuali setelah dikaji bersama murid-muridnya selama satu buIan. Kiat 17 : Latih, Latih dan Latih MELATIH anak akan membuatnya tahu dan mengerti. Ketika si anak mengawali pertumbuhan dan mulai mengaktifkan kedua tangannya, maka ia mulai merangsang otaknya untruk berkembang. Ia akan menyaksikan bagaimana sesuatu dilakukan dan kemudian ia mengulanginya. Demikianlah akhirnya ia melakukan sesuatu dengan baik selangkah demi selangkah. Rasulullah saw. melihat seorang anak sedang menguliti seekor kambing. Tapi ia belum bisa melakukannya secara baik. Maka Rasulullah saw menyingsingkan lengan bajunya seraya mengatakan, "Beginilah caranya." Lalu beliau memasukkan tangannya antara kulit dan darah hingga sampai ke bagian ketiaknya. Kemudian beliau pergi untuk mengimami shalat dan tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abu Daud Dari Abu Sa'id Al-Khudri) Pelatihan semacam itu akan membuat anak terbuka pemikirannya dan bertambah luas wawasannya, di samping mempunyai keterampilan. Oleh karena itu alangkah baiknya jika jargon kita dalam berinteraksi dengan anak-anak "beginilah caranya". Karena cara itu lebih mampu menanamkan pengetahuan yang benar dan keterampilan dalam bekerja. Para sahabat amat besar perhatiannya dalam melatih anak-anak mereka. Salah satu contohnya adalah melatih anak-anak mereka berpuasa. Sehingga mereka harus membuatkan mainan untuk anak-anaknya agar merasa terhibur dan tidak merasakan panjangnya hari. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, dari Ar-Rabi' Binti Mu'awwidz, bahwa Rasulullah saw. mengutus orang ke kampung-kampung Anshar pada hari 'Asyura untuk mengumumkan: "Barang siapa yang sejak pagi puasa maka hendaklah ia melanjutkannya dan barang siapa yang tidak berpuasa maka hendaklah berpuasa di sisa hari." Maka setelah itu kami selalu berpuasa pada hari 'Asyura dan menyuruh anak-anak kami untuk berpuasa. Kami pergi ke masjid kemudian kami membuat mainan dari bulu. Jika di antara anak-anak itu ada yang menangis maka kami berikan kepadanya hingga sampailah waktu berbuka. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam mengomentari hadits itu mengatakan, "Hadits itu menunjukkan disyari'atkannya melatih anak-anak berpuasa sebagaimana yang telah disebutkan. Meski pun usianya belum mukallaf (terkena pemberlakuan hukum) namun hal itu perlu dilakukan untuk melatihnya.” Jadi betapa pentingnya latihan bagi anak. Nah, agar latihan yang kita lakukan terhadap anak kita sukses, maka harus diperhatikan hal-hal berikut: a. Memberikan tugas sesuai dengan jenis kelaminnya Tidaklah tepat menugaskan anak laki-laki untuk mencuci piring sementara yang perempuan disuruh untuk mengangkat beban yang berat. Tugas-tugas ke luar rumah dan membawa beban berat lebih cocok untuk laki-laki. Sedangkan tugas-tugas yang terkait dengan dapur, mengasuh anak kecil lebih tepat untuk anak perempuan. b. Memberi tugas sesuai dengan usianya Tidaklah tepat meminta anak kecil untuk mengangkat sesuatu yang sangat berat. Tidaklah tepat menyuruh anak perempuan yang masih kecil mencuci bertumpuk-tumpuk piring yang memakan waktu lebih dari satu jam. c. Bertahap dalam melatih Jika Anda ingin melatihnya pergi ke supermarket maka untuk pertama kali janganlah ia disuruh pergi ke supermarket yang jauh dan jangan disuruh belanja barang yang harganya tinggi. Suruhlah dia pergi ke supermarket yang dekat untuk membeli hanya satu jenis barang dengan harga murah dan kemudian tingkatkan sedikit demi sedikit. d. Tidak mencercanya jika salah Jika Anda suruh dia membeli sesuatu dan temyata ia membeli barang yang lain atau salah dalam menghitung uang atau memecahkan apa yang ia beli janganlah Anda mengecamnya dengan mengatakan, "Ah, Coba saya tidak suruh kamu," atau "Seharusnya saya bisa mempercayai kamu," atau, "Mana otakmu?" dan lain-lain. Kalimat-kalimat itu akan membuat dia sangat terpukul dan meninggalkan dampak buruk dalam jiwanya. Demikian pula jika Anda menyuruh puteri Anda melakukan pekerjaan-pekerjan dapur seperti mengiris tomat, mencuci sayuran atau mencuci piring dan tidak mencapai hasil yang memuaskan, maka jangan katakan padanya," Sudah pergi saja bermain. Kamu masih kecil. Seharusnya saya sendiri yang mengerjakan semua ini." Sebaiknya terangkanlah kesalahannya kepada anak Anda secara tenang. Minta dia untuk mengulangi tugasnya dengan benar, jika mungkin. Paham kanlah padanya bahwa kita juga biasa salah pada awal kita belajar dan bahwa kesalahan bukan berarti kelemahan dan kegagalan. e. Memantaunya di awal pemberian tugas Sangat baik jika Anda bisa menyertainya pada tugas-tugas pertama. Jadi jika kita menyuruhnya untuk membeli sesuatu, maka tidak ada salahnya jika kita mengawasinya dari jendela atau berdiri di dekatnya. Dan jika kita menyuruh puteri kita melakukan sesuatu di dapur, tidak ada salahnya jika kita mengawasi dan membantunya untuk melakukan pekerjaan secara baik sehingga ia tidak merasa gagal di langkah awal. f. Tidak menugaskan sesuatu pada waktu yang tidak tepat Jika ia sedang bermain dengan teman-temannya dalam permainan yang baik maka janganlah kita memotong kebahagiaannya dangan menugaskan "kepadanya sesuatu yang membuatnya tidak dapat bermain. Dan jika ia sedang menonton TV dengan acara anak-anak yang baik maka janganlah kita memaksanya untuk meninggalkannya dan melakukan sesuatu yang lain. g. Tidak berlebihan dalam memberikan motivasi Kita harus selalu memotivasi anak, misalnya dengan mengucapkan terimakasih kepadanya jika ia melaksanakanapa yang kita tugaskan. Misalnya dengan mengucapkan,"Baarakallahu fiik (semoga Allah memberikan barokah kepadamu)" atau "Bagus, semoga Allah memberikan kesehatan kepadamu." Namun demikian motivasi dan pujian itu jangan dilakukan secara berlebihan. Karena si anak juga harus tahu bahwa apa yang dia lakukan itu adalah bagian dari kewajibannya.

In Duniawi dan Spiritual

Comments

Displaying 0 - 0 of 0 comments

No comments yet. Be the first one to comment!

Add Comment

You must be logged in to comment

Profile

wahyu
  • Male
  • 26 years old

Statistics

Comments 0
Page views 407